SAESTUSAE.COM, JAKARTA – Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen untuk seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar negaranya.
Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025, dan diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump melalui surat resmi yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto.
Namun belakangan, Presiden Prabowo mengatakan, Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah menyepakati penurunan tarif resiprokal menjadi 19 persen dari semula 32 persen setelah melalui perundingan yang alot.
Indonesia saat ini tengah berada di fase akhir negosiasi dengan Amerika Serikat mengenai pengurangan tarif impor yang sempat dipatok tinggi, dari semula 32 persen menjadi 19 persen
Berikut fakta-fakta upaya Indonesia negosiasi terkait tarif dari 32 persen menjadi 19 persen dan apa dampaknya.
1.Status Negosiasi Tarif
AS sebelumnya mengancam tarif 32 persen pada produk Indonesia per 1 Agustus 2025, termasuk tekstil, alas kaki, dan elektronik
Setelah negosiasi yang melelahkan dipimpin oleh Menko Airlangga Hartarto dan Presiden Prabowo Subianto, tarif ini diturunkan menjadi 19 persen.
2. Kompensasi dari Indonesia
Untuk mendapatkan penurunan tarif tersebut, Indonesia menyepakati beberapa imbal balik, termasuk:
- Membeli energi AS senilai $15 miliar
- Impor produk pertanian AS senilai $4,5 miliar
- Komitmen pembelian pesawat Boeing oleh maskapai seperti Garuda, meski total dan jumlah unit masih dalam pembicaraan
Negosiasi juga mencakup usulan seperti:
- Pembelian garam, gandum, kedelai, dan investasi AS di sektor kritikal seperti nikel dan tembaga
- Permintaan pengecualian tarif untuk ekspor unggulan Indonesia seperti kakao, kopi, dan CPO
3. Respons Ekonomi & Pasar
- IHSG menguat sekitar 0,7–0,8% usai pengumuman.
- Bank Indonesia segera memotong suku bunga acuan menjadi 5,25%, guna mendukung ekspor dan stabilisasi nilai tukar.
- Analis menyebut meski sektor energi dan pertanian akan positif, eksport manufaktur seperti tekstil dan alas kaki masih perlu adaptasi.
4. Tantangan & Catatan
- Tarif 19% masih cukup tinggi dibanding rata-rata global, tapi lebih baik daripada skenario terburuk 32%.
- Masih banyak detil yang belum final seperti timeline pembelian produk, pengecualian tarif untuk ekspor spesifik, dan regulasi teknisnya.
- Perang dagang global dan strategi “reciprocal tariff” AS menyisakan ketidakpastian bagi mitra dagang lainnya.
Kesepakatan ini menunjukkan politik tarif tactical AS yang memberi ruang negosiasi, tetapi dengan syarat yang cukup berat. Indonesia berhasil menurunkan tarif tapi harus memberi kompensasi besar. Dampaknya terhadap stabilitas ekonomi, nilai tukar, dan sektor manufaktur lokal masih perlu dipantau.
